Bangunkan aku,disaat mungkin nafasku akan tersisa sepenggal tuk esok
Bangunkan aku,pabila mataku kian lekat dengan pejamannya
Bangunkan aku,pabila cakrawala masih mengerutkan dahinya yang kucium mesra semalam
Bangunkan aku,hai jiwa-jiwa gersang yang menagih janji
Mereka bicara dengan mata yang tak dapat mendengar sesenggukan basah kami
Mereka melihat dengan telinga yang beradu dengan sayup gemerlap hati
Mereka mendengar dengan sekat ironi kematian yang membias
Mereka meraba darah kami dengan riak pekat yang sengaja terlempar sayup
Biarkan saja daging ini memutih perlahan !
Bila perlu,sampai berubah sperti barisan balok keramik dalam bibir mereka
Aku yakin, salamku dibiarkan menjadi kerak
Walau sampai menanti giliran tangisku habis, itu pun masih percuma.
Kami hanya jadi penonton pesta gelak tawa mereka
Bebaskan kami,bebaskan jeritan-jeritan kami yang tak berarti tapi punya nyali
Intip kami, intip babak perjalanan kami dengan ratusan bahkan jutaan impian tertitip
Selamatkan kami, selamatkan sketsa ratapan para tetua yang tersisa
Karna kami kini tak berdaya, tapi katanya kami milik mereka
Hai bangsa yang mematung ; kami terjual sudah
Genggaman hitam itu, menjadi sandaran kepingan perak yang menjadi HARGA MATI KAMI !
Aku lelah, bila masih tak di dengar
Bukan lagi penat namanya, pabila sudah jadi budaya
Aku memang bukan mereka yang teraniaya, tapi aku saksi yang terdiam mematung
Bisa dilihat dari lubang jarum suntik puskesmas persimpangan benua
Bangunkan aku,disaat mungkin nafasku akan tersisa sepenggal tuk esok
Bangunkan aku,pabila mataku kian lekat dengan pejamannya
Bangunkan aku,pabila cakrawala masih mengerutkan dahinya yang kucium mesra semalam
Bangunkan aku,hai jiwa-jiwa gersang yang menagih janji
Lihat saja, aku kan berlari atau hanya sekedar terbangun dan tertidur kembali ?
Comments
Post a Comment