Namanya Olamsi, hampir 17 tahun ia mengabdi pada profesinya, seorang Tukang Tambal Ban. Dibalik tubuhnya yang hitam legam, ada cita-cita seputih sayap merpati utuh.
Nama saya Karunia Fransiska dan pria yang saya perkenalkan sebelumnya, ia adalah Ayah saya. Saya memiliki darah keturunan suku Batak, dan marga saya adalah Debataraja. Di akte kelahiran, marga saya memang sengaja tidak dilekatkan di belakang nama lengkap saya. Pasalnya, pada zaman Orde Baru, marga tidak diperbolehkan dicantumkan dalam akte kelahiran. Hal sederhana itulah yang membuat ayah saya mengurungkan niatnya mengibarkan bendera marga pada diri saya.
Entah mengapa saya sangat bangga akan siapakah diri ayah saya sebenarnya. Saya tidak pernah malu untuk mengakui beliau di depan teman-teman saya, sekalipun beliau hanyalah seorang Tukang Tambal Ban. Ada kekaguman dalam benak saya ketika saya berada satu kelas bersama teman-teman yang orangtuanya merupakan pengusaha dan mayoritas dibekali kendaraan pribadi untuk memudahkan aktivitasnya sehari-hari. Berbanding terbalik dengan saya, yang setiap berangkat ke kampus sudah berusaha semaksimal mungkin untuk tetap wangi aroma bunga, namun ketika sampai di kampus sudah wangi aroma kambing. Maklumlah, saya naik kereta api yang harganya Rp 1500,00 dan tidak bisa menepis nasib, siapakah sosok beruntung yang akan berdampingan dengan saya di kereta. Apakah manusia, kambing, biawak, ayam atau bahkan satu karung yang berisikan sayur mayur yang siap dijual.
Sebab ayah saya selalu mendorong saya dengan perkataan : “Lebih baik kita jadi orang miskin diantara orang kaya dibandingkan menjadi orang kaya diantara orang miskin. Atau orang bodoh diantara orang pintar dibandingkan orang pintar diantara orang bodoh”. Dulu saya tidak pernah mengerti ini, namun sekarang setelah saya mulai menjalankan misi hidup saya, baru saya memahami.
Lakukan apa yang kamu Cintai dan Cintai apa yang sedang kamu lakukan
Berangkat sebagai insan kecil, menyeret saya untuk memiliki satu mimpi, mampu menyampaikan apa yang dirasakan insan kecil tentang kaum penguasa sementara. Saya memiliki satu Ayat di Alkitab yang saya jadikan sebagai pedoman hidup : ( Yesaya 1:17 ) belajarlah berbuat baik; usahakanlah keadilan, kendalikanlah orang kejam; belalah hak anak-anak yatim, perjuangkanlah perkara janda-janda. Ayat tersebut seperti benar-benar hidup sejalan dengan cita-cita saya. Untuk itulah saya mengambil keputusan untuk bercita-cita sebagai seorang jurnalis. Sehingga saat ini saya melanjutkan pendidikan di Universitas Swasta terkemuka di Indonesia, yaitu BINUS University. Jurusan yang saya tekuni saat ini ialah Marketing Communication, spesialiasi Public Relation. Mengapa saya memilih BINUS University ? Karena ayah saya pernah berpesan : “Tuntutlah ilmu sampai negeri Cina. Jika kamu belum dapat menjangkau negeri Cina, bentangkanlah seluas samudera pergaulanmu dengan para keturunan Thionghoa.”
Setelah menjalani dunia perkuliahan, seiring berjalannya waktu, saya telah mendapatkan jawaban dari pesan ayah saya. Dan hal tersebut ada dalam perubahan pola pikir dan hanya saya yang tahu mengenai rahasia tersebut. Ramuan rahasia negeri Cina.
Tulisanku, permadani yang membawaku lintasi langit biru
Bagaikan bayi yang baru lahir kemarin sore, namun ingin segera berlari sprint. Itulah saya, dengan kemampuan yang minim namun saya bermimpi meraih karier yang maxim. Bagi saya, manusia yang layak dibelas kasihani di dunia ini bukanlah mereka yang miskin harta, melainkan miskin cita-cita.
Di suatu kesempatan saya memberanikan diri untuk mendaftar sebagai jurnalis yang TIDAK memiliki latar belakang pengalaman menulis. Seluruh CV telah saya layangkan ke berbagai media di Indonesia, namun Gayung tidak bersambut dengan baik. Sampai pada akhirnya, saya melihat profil sebuah Tabloid anak muda dan segera menghubungi Contact Person yang tertera. Namun setelah saya menghubungi, ternyata gayung tak bersambut untuk kesekian kalinya. Posisi yang saya harapkan ternyata tidak ada, namun Redaktur Tabloid tersebut memberikan saya kesempatan untuk menuliskan artikel mengenai profil Universitas yang kini saya cintai. Untuk pertama kalinya tulisan saya diterbitkan dan saya merasa dewi fortuna kali ini berpihak pada saya. Singkat cerita saya lulus DikLat (Pendidikan dan Latihan) Jurnalistik, di tabloid tersebut dan hingga kini saya masih bekerja disana sebagai seorang Jurnalis, posisi yang saya impikan.
Sudah berada di atas angin, bukan alasan saya untuk berhenti berjuang. Saya sangat disiplin dalam segala hal yang menyangkut tanggung jawab profesionalitas saya, termasuk mempertahankan serta meningkatkan kualitas tulisan saya.
Dibekali hasrat keingintahuan yang tinggi, saya semakin memiliki keberanian dalam mewawancarai berbagai nara sumber. Tak peduli apa profesinya, sehingga saya berhasil mewawancarai beberapa tokoh ternama seperti MENPORA, KWARNAS, Bupati Belitung (Ir.Darmansyah Husein), Gubernur DKI Jakarta (FOKE), seksolog, PR institusi pendidikan, selebriti, seniman dan masyarakat umum lainnya. Selain berusaha menjalin hubungan baik dengan para nara sumber, saya juga menjalin hubungan baik dengan rekan-rekan jurnalis lainnya.
Ketika semangatku jatuh, seketika cita-cita merayu tuk dikejar
Mempertahankan api di dalam diri yang bernama semangat sangatlah sulit, terlebih ketika rasa ketidak bersyukuran menghinggapi relung jiwa, impian yang sudah dirajut sekian lama dapat dengan mudah hancur lebur seketika. Saya pun jatuh pada situasi putus asa, kejenuhan yang tiada batasnya dan hampir tak bernyali. Hal tersebut dikarenakan iri hati melihat penghasilan teman-teman yang lebih besar dibandingkan saya, yang pekerjaan mereka jauh lebih ringan dibandingkan profesi saya yang penuh resiko.
Hingga suatu ketika saya memberanikan diri untuk terbuka pada dosen saya, Marcus Bambang Walgito. Beliau berpesan : Bermimpilah dan berusahalah sampai air mata dan peluhmu jatuh ke bumi. Lihat yang akan terjadi : bumi menceritakan segalanya tentang dirimu, seketika TUHAN akan memeluk mimpimu dan mengubah jalan hidupmu.
Mendengar hal tersebut, adrenalin saya terpacu dan terlintas bayangan wajah ayah yang memasuki usia senja namun bersemangat baja.
Ayah, aku ingin menjadi sepertimu :) |
Comments
Post a Comment