Ketika kita mengenal cinta, kita kerap melupakan perihnya patah hati. I LOVE YOU FOREVER. Kalimat itu cuma ada di baju-baju yang dipakai boneka beruang. Pada kenyataannya, kata FOREVER itu enggak ada. FOREVER hanya sebagai senjata yang mampu mengantarkan kita duduk di barisan awan-awan putih. Pada akhirnya kita akan dihadapkan dengan perpisahan..
Akhir-akhir ini kenangan-kenangan saat kami duduk di bangku SMA, senantiasa menghantui tidurku. Sosok humorisnya kembali hidup dalam alam bawah sadarku, padahal sudah hampir 5 tahun berlalu. Dan kini, aku mencoba menjadi sosok yang kuat, sejak terakhir kali ia menghujamkan kata-kata tanpa belas kasihnya itu. Memutuskan hubungan kami..
Si Pria inisial H -
Pria tinggi, kurus, bermata sipit dan humoris, yang bahkan kini tidak kuketahui lagi keberadaannya.Setiap malam, rasa rindu ini menghantam tajam hatiku, hingga aku kerap menangis menahan perihnya. Sakit..
Pertemuan kami berawal dari sebuah kejadian kriminal dan kami "dicurigai sebagai salah satu "tersangka". Ketika itu, teman sekelas kami kehilangan handphone N-73, namanya Yanuar. Beberapa murid di kelas kami, dicurigai sebagai tersangka, salah satunya aku dan dia. Saat pemeriksaan berlangsung, aku dan dia duduk berdekatan. Tangannya keringat dingin, dan ketika teman-teman yang lain merasakan ketakutan, kontras berbeda dengan kami. Ditambah lagi, celetuk salah satu guru kami, Pak Guloh : "Kalian itu sodara ya? Kok mirip sih mukanya?" . Pertanyaan sederhana tersebut menyeret kami dalam keakraban, Aku dan dia semakin asyik bercerita dan mengenal lebih dalam satu sama lain. Pemeriksaan pun selesai dan diantara kami, tidak ditemukan bukti kuat siapa tersangka pencurian handphone N-73 milik Yanuar.
“Lo pulang naik apa?”Ia tiba-tiba melontarkan pertanyaan itu seusai pemeriksaan.
"Naek angkot BSD, lo?" tanyaku berharap kami pulang bersama.
"Gue nggak tau nih balik naek apa, si Jaslen (teman tebengannya) udah pulang. Gue nggak punya ongkos lagi." jelasnya
"Udah naek angkot aja, lo turun di Melati kan? Gue bayarin ongkosnya." jelasku masih sambil berharap agar ada teman ngobrol di angkot.
"Bener ye, bayarin gue ongkos angkot. Yaudah, gue bareng lo deh." pintanya meyakinkan.
Sejak itulah, kami semakin akrab. Gosip bahwa kami berpacaran pun sudah tersebar di sekolah. Kami hanya santai menanggapi, karena memang tidak ada hubungan sama sekali.
Seiring berjalannya waktu, dia menunjukkan perhatian lebih padaku. Dan tanpa sadar, aku mulai merasa nyaman. Aku menjadikannya sebagai tempatku bersandar, dan celakanya aku mulai mengharapkannya. Aku yang kala itu menyadari statusnya sudah berpacaran dengan seorang perempuan di luar kota, segera menepis kenyataan perasaanku, Aku menyukainya, namun aku harus mundur dari kedekatan ini.
Disaat aku menyatakan mundur dari situasi ini, dia justru semakin nekat mendekatiku. Dia memohon agar aku tetap bersamanya. Dia mengikuti aku sampai ke rumah, meski pada saat itu hujan turun deras, namun dia tetap menunggu di depan gerbang rumah.
Aku pun iba, aku menjemput dia dan mempersilahkannya duduk di teras rumahku. Segera kusuguhkan secangkir kopi susu hangat untuknya. Dalam hitungan menit, kami terjebak dalam keheningan yang cukup panjang. Dari sudut matanya, aku memperhatikan tatapannya yang tanpa disadari dia mengeluarkan air mata. Dia menangis. Aku yang sedang sibuk dengan segala pertanyaan, tidak menyangka bahwa ia akan berkata : "Nia, seumur-umur belom ada cewe yang bisa bikin gue nangis. Cuma lo doang. Lo, anak baru di sekolah, tapi lo bisa bikin gue sakit. Nia, please jangan tinggalin gue.", mohonnya.
Aku bertanya-tanya dalam hati, hatiku meronta. Aku menyukainya, lalu bagaimana dengan kekasihnya yang diluar kota. Aku bimbang dan sampai akhirnya, aku mencium keningnya. Aku menutup mata tentang kekasihnya.
Sebulan berselang, dia mulai sadar dengan keinginanku menjadi yang pertama dan satu-satunya. Dia memutuskan kekasihnya. Kami tenang menjalani hubungan kami. Meski pada saat kelulusan, kami harus menerima kenyataan bahwa kami kuliah di universitas yang berbeda. Namun, kami tetap menjaga kedekatan kami. Hubungan kami yang mengalir tenang selama empat setengah tahun pun mulai retak.
Permasalah timbul ketika aku mulai mengenal dunia kerja, aku sibuk kuliah sambil bekerja freelance. Dia tidak. Dia sibuk kuliah sambil bermain game online sampai subuh. Itu hobby barunya, namun aku tak bisa menerima kenyataan tersebut. Aku anak pertama, yang dibesarkan dalam keluarga keras, semakin matang dengan kehidupan. Aku harus lulus kuliah tepat waktu dengan IP 3,3. Rencananya akan melanjutkan s2 jurnalistik di negeri kincir angin, Belanda. Dia dibesarkan dalam keluarga yang longgar, belum matang dalam kehidupan. IPnya dibawahku, dan kuliahnya pun harus menunda beberapa semester. Ketika dia bangun kesiangan dan akhirnya memutuskan bolos kuliah, orangtuanya tidak pernah memarahinya.
Watakku keras, aku yang kerap memarahinya ketika dia bolos kuliah dengan alasan kesiangan bermain game. Padahal orangtuanya pun tak memarahinya.
Aku mengajaknya untuk sama-sama bekerja, namun caraku yang keras, dianggapnya salah. Padahal orangtuanya pun tak pernah memaksakan dia bekerja.
Aku optimis, dia melankolis. Aku tahu bahwa dia pintar dan berpotensi untuk sukses, aku kerap membawa dia dalam impianku, impian untuk maju. Namun caraku salah, dia tidak sama denganku. Menghadapi dia harus dengan cara halus, dan hidupku tidak mulus, berliku. Dimatanya, aku selalu merendahkannya.
Saat ini, aku bernafas dan menghadapi hari tanpanya. Semenjak perpisahan itu, dia memintaku tuk tidak menghubunginya lagi. Meski keesokannya aku harus merintih perih berlandaskan rindu, aku tetap tak mampu menghubunginya.
Aku tahu, dia kan baik-baik saja. Setiap hari, aku selalu menyebutkan namanya di dalam doa, setelah aku menyebutkan nama kedua orangtuaku. Dan hingga detik ini, aku masih menunggu kemunculannya. Merindukan keberadaannya. Menantikan kepastiannya. Menuntut hal-hal yang pernah dijanjikan atas hidupku .
Aku pun frustasi. Aku berubah, namun ia tetap sama. Bersembunyi dalam keacuhannya. Aku tidak ingin memaksa, tapi aku tersiksa. Tersiksa dalam pikiranku, tersiksa dalam hatiku, tersiksa dalam perasaanku.
Aku tahu, dia tak akan pernah mau tahu.
Comments
Post a Comment