Satu hal yang sangat menyakitkan menjadi orang kuat adalah tidak satu orang pun peduli untuk bertanya padamu, "apakah kamu terluka?"
Saya teringat dengan sebuah percakapan kecil dengan seorang Pendeta di bulan Juli 2013. Sedikit terdengar 'asing' ya, seorang saya bertukar pikiran dengan seorang pemuka agama. Tapi ya kembali lagi, manusia tetaplah manusia. Selalu ada sisi hitam dan putih.
Okay, singkat cerita. Pada saat itu, seperti biasa, hari Sabtu malam (malam Minggu) saya menghadiri sebuah pendalaman Alkitab di Gereja. Entah beruntung atau tidak, saya adalah jemaat pertama yang hadir sangat awal. Tidak seperti biasanya, saya selalu menjadi 'guess star' lantaran terlambat hadir.
Tibalah percakapan kecil yang cukup memecahkan suasana kikuk antara saya dan Pak Pendeta...
Pendeta : Karunia apa kabar?
Saya : Baik Pak. Bapak sendiri?
Pendeta : Puji TUHAN baik. Saya senang kamu sudah pulang.
Saya : Hah kok Bapak tau sih saya sudah nggak ngekost lagi? Anak-anak cerita?
Pendeta : Enggak, saya tidak tahu sama sekali kalau kamu ngekost. Tapi selama sebulan ini saya kepikiran kamu terus. Maaf yah Karunia, saya bukannya kepikiran karena genit loh. Saya hanya kepikiran kalau kamu sedang bergumul. Ada sebuah beban berat yang kamu rasakan dan saya pernah mendoakan kamu agar terlepas dari belenggu tersebut. Saya memohon kepada TUHAN agar kamu pulang ke rumah, disana bukan tempatmu Karunia. Saya beberapa kali menanyakan kabar kamu ke anak-anak.
Saya : Hah? Bapak ada indra ke-enam ya?
Pendeta : Bukan Karunia, saya hanya merasa kamu membutuhkan pertolongan.
Saya : (menangis)
Pendeta : Boleh saya minta tandatangan kamu dan tulisan tangan kamu? (sambil mengambil secarik kertas dan sebuah pena)
Saya : (setelah menuliskan tandatangan beserta nama saya, saya menyerahkan secarik kertas tersebut) Ini Pak.. Kenapa Pak? Bapak bisa baca tulisan dan tandatangan orang ya?
Pendeta : (terdiam beberapa saat) Karunia.. Kamu yang dihadapan saya bukanlah kamu yang seutuhnya. Saya bukan menganggap bahwa kamu sedang menggunakan topeng, namun keceriaan kamu saat ini sangat semu. Sejak awal mengenal kamu, saya sudah menduga namun saya takut nantinya menjadi menghakimi kamu. Maaf ya. Kamu mudah bergaul. Dimana pun kamu berada, kamu selalu mudah mendapatkan teman, sifat kamu yang ceria membuat kamu selalu menjadi pusat perhatian dimana kamu berada, tapi mereka semua tidak ada artinya di mata kamu. Hanya segelintir orang yang ada di hati kamu. Terbuka Karunia, belajarlah untuk membuka hati. Kamu pernah terluka di masa lalu namun itu bukan berarti kamu tidak membuka hati seterusnya.
Pendeta : Saya sudah coba Pak. Pada saat saya memohon pemulihan ketika putus dengan kekasih yang lama, saya sudah mencoba membuka diri meski sulit untuk memulai dari awal Jujur, saat ini saya sedang dekat seorang Pria dewasa dan semakin kesini, Pria itu kerap menyakiti saya, menyembunyikan saya dan saya kerap merasakan penolakannya terhadap kehadiran saya. Saya ingin mundur Pak.
Pendeta : Kalau kita pernah terluka akan sebuah pisau, bukan berarti pisau yang lain berpotensi untuk menyakiti. Percayalah, masih ada pisau yang diciptakan untuk menjauhkan kamu dari mara bahaya.
hahhaha
ReplyDeleteAwesome