Saya : "Emangnya, kalo gue terbuka tentang kondisi gue sekarang, apa ada orang yang mau nerima ?"
Dia : "Ada. Gue."
Saya : "Ah, lo kan temen gue. Bukan pasangan gue."
Dia : "Iya tau. Maksud gue, mantan istri gue juga sama kayak lo. Waktu keputusan dokter gue denger, dia lemes. Gue? Nggak! Gue peluk dia. Gue hadepin selama 8 tahun sampe pada akhirnya dia yang meninggalkan gue. Kita kenal udah berapa tahun ? Dan lo inget kan, gue pernah nyuruh lo cek ke psikiater. Karena there's something wrong with you, Nia! Lo makin parah. Dari pertama kali kita kenal, lo berubah. Lo bukan Nia yang gue kenal dulu."
Saya : "Gue belom berani. Lebih baik gue pendem sendiri sampe mati."
Dia : "Enggak Ni. Kalo orang yang mengenal lo karena hati lo, dia akan support lo untuk sembuh, bukan memilih untuk pergi. Gue nggak bilang kalo orang itu dia, tapi someday. Seseorang. Percaya sama gue. Gue udah lewatin masa itu."
Saya : "Gue nggak yakin"
Saya rasa ada yang aneh dengan kejiwaan saya. Tanpa sadar, keanehan tersebut saya 'pelihara' bertahun-tahun. Tapi saya belum cek secara ilmiah mengenai kebenarannya. Tapi yang pasti, saya sudah sedikit menyimpulkan relevansinya.
Yang lebih memberatkan adalah ketika saya 'dipaksa' untuk terbuka dengan seseorang yang saya tidak yakin akan menerima saya. Karena, apakah ketika saya terbuka, dia akan menutup rapat-rapat tentang keterbukaan tersebut?
Comments
Post a Comment