Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api, yang menjadikannya abu
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan, yang menjadikannya tiada
-Sapardi Djoko Damono-
Seperti juga diriku, yang mencintai dengan tanpa memilikimu
Tiada yang mengerti bahasa cinta yang kusampaikan, tidak juga kau
Kau meredam gejolak cintaku dengan keangkuhanmu yang membisu
Lebih dari seratus hari
Lelah sudah aku berteriak, meraung, tersedan, dan terhisak,
Kupastikan, dari singgasanamu, kau hanya akan bertanya: "mengapa kau seperti kehabisan suara?"
Tiada yang mengerti sambutan bahasa cinta yang ditujukan Si Pria inisial H kepada saya. Dia pergi tanpa meninggalkan jejak-jejak, menghilang kemanapun angin barat pergi, bukan badai. Lebih dari seratus hari saya mendendangkan auman di bawah rembulan, seperti serigala yang kelaparan. Merindukannya.
Dia kemudian muncul kembali, dengan rindu yang pernah saya tawarkan padanya. Belum ada seminggu saya tersenyum menikmati kehadirannya, dia kembali pergi tanpa menyisakan jejak.
Perasaan saya kembali dipermainkan, dan saya masih asik menikmati permainanannya. Bodoh memang..
Dan saat ini dia pun kembali, kami berbincang. Dia kembali dengan perasaannya yang datar, saya justru hingar bingar.
Aku mencintaimu, dengan sederhana. Dengan cara yang tak menyisakan tempat untuk rasaku sendiri. Aku masih terjebak dalam kehadiranmu yang datang dan pergi menyusuri waktu bagianmu sendiri. Perasaanku masih sama seperti kemarin dan dahulu, masih mencintaimu. Lelahku tak diraba olehmu. Hanya menunggu kapan waktuku terhenti, dan menanti cintaku sebatas cerita untukmu..
Comments
Post a Comment