Soedirman
Jumat, 20.40 WIB
Setengah berlari, saya bergegas menghampiri mobil Christian. Hari ini saya ada workshop menulis di salah satu Universitas Khatolik swasta di daerah Sudirman. Dalam urusan menulis, dia sangat mendukung apa pun yang saya impikan dan lakukan. Dan malam itu, dia menjemput saya.
"Sebelum kamu marah, aku akan menjelaskan alasannya padamu", pintanya, sadar bahwa dia telah membuat saya harus menunggunya lebih dari dua jam dari waktu yang telah ditentukan.
"Lebih baik kamu diam dahulu. aku masih mau menarik nafas. Aku lelah!", jelasku sedikit memendam amarah.
"Oke. Yaudah, kalau memang itu mau kamu. Untuk menghiburmu, aku akan menunjukkan letak kantorku yang baru", ucapnya dengan nada sumringah, bukan hanya dia yang tersenyum, saya pun turut melengkungkan bibir.
"Ohh kantormu yang baru disana toh", celetukku polos sambil mengeja.
Dengan kecepatan sedang, Christian memulai percakapan dengan segala pertanyaan mengenai aktivitas saya selama workshop. Saya senang, saya diperlakukan seperti anak kecil, dia memanjakan saya dengan pertanyaan yang saya sendiri mampu tuk menjawabnya. Christian adalah sosok yang terkesan acuh, namun diam-diam sangat memperhatikan gerak-gerik saya. Dalam barisan pertanyaannya, dia selalu menyelipkan kata-kata motivasi padaku. Gedung-gedung pencakar langit, monster penerang jalan, papan-papan penunjuk arah. Mereka tampak cemburu melihat kehangatan kami malam itu.
Dan, hal yang tak terduga terjadi. Tanpa saya pinta, kejadian sederhana tersebut menjadi tamu yang cukup mengoyak hati. Telepon genggamnya berdering. Ringtonenya penuh arti seiring dengan nama si penelepon.
Senyumanmu masih jelas terkenang. Hadir selalu sekan tak mau hilang dariku.. ohoho.. dariku.. Takkan mudah ku bisa melupakan segalanya yang telah terjadi diantara kau dan aku.
Diantara kita berdua..
(L)
Inisial nama yang menghiasi masa lalunya selama enam tahun. Christian masih berkomunikasi dengan perempuan itu. Sontak saya terdiam menyaksikan reaksinya saat menerima telepon tersebut.
"Kania, are you okay? Hey, come on ! Kita udah berapa hari nggak ketemu. Jangan karena hal sepele ini, kita jadi garing begini", tanyanya seraya meredakan amarahku.
"Hemp, gapapa", ujarku berharap ia mengerti bahwa ada sesuatu yang memang terjadi.
"Are you sure? Kalau memang ada yang salah, tolong bicara. Jangan diam seperti ini", pernyataan yang sama, yang membuatku semakin menggerutu.
"Aku juga tidak mau hal ini terjadi. Tapi tolong, kamu mengerti. Aku merindukanmu." ujarku lirih.
Bukan, aku bukan marah pada dirimu. Bukan, aku bukan dendam pada masa lalumu.
Aku AWW !
Pejantanku masih berbagi cerita dengan cintanya yang tak pernah padam-
Comments
Post a Comment