“Seseorang semestinya memutuskan bersama orang lain karena menemukan keutuhannya tercermin, bukan ketakutannya akan sepi.”
― Dee, Rectoverso
― Dee, Rectoverso
Okay.
Tekad saya sudah bulat. Hari ini saya memutuskan untuk berhenti kost dan kembali menetap bersama orangtua. Tentunya dengan segala pertimbangan yang sudah dilakukan sebelumnya. Dengan menggunakan mobil, saya pun segera memboyong Mama beserta Dua adik perempuan saya, Ebby dan Monic menuju kost saya, Palmerah.
Di tengah perjalanan, pertanyaan yang sama masih menghantui sukma.
'Lo yakin Ni, mau berhenti kost? Nggak capek, bolak-balik rumah-kantor apalagi kalo ada liputan malem. Belom lagi, aktivitas di luar kantor lo kan segudang. Yakin?'
Hati saya gaduh. Raga saya menyetir, sementara sukma saya melayang. Bertanya-tanya. Ada satu pertimbangan yang masih mengganjal. Bagaimana jika suatu saat saya harus bertemu Christian? Dahulu Christian pernah mengutarakan alasannya jarang mengunjungi saya di rumah lantaran jarak. Pikiran saya pecah. Tiba-tiba lagu Daylight - Maroon 5 terdengar dari radio kesayangan saya, Prambors.
Oh Gosh ! Come on, move on !
Akhirnya saya tiba di kost. Tepat di depan gerbang, saya memanggil nama Ibu penjaga kost, Mbak Ndar. Sudah Tiga kali saya memanggil nama wanita separuh baya tersebut, namun tidak ada sahutan. Saya pun bergegas memasuki kamar kost nomor Tiga, kamar yang telah saya sewa selama Empat bulan.
Tanpa berpikir lebih lama, saya segera mengemasi barang-barang. Untung saja saya membawa Mama, Ebby dan Monic. Ternyata lumayan banyak juga barang yang harus diaangkut.
Lantaran iba melihat Mama yang tampak lelah, saya pun menyarankan agar Mama segera kembali ke mobil untuk beristirahat dan menunggu kami berkemas-kemas hingga selesai.
Ditengah asik memasukkan barang-barang sesuai kategori, tanpa diduga Mbak Ndar masuk ke dalam kamar saya.
"Nia ngapain?", tanyanya
"Iyah Mbak, har ini aku pulang ke rumah", jawab saya
"Kok Nia pulang sih? Kan Nia udah janji sama Mbak kalo Nia nggak jadi pulang. Kalo Nia kesepian, nanti mbak temenin", tanya Mbak Ndar kesal sambil mencubit pinggang saya.
"Hemp, aku nggak...."
Belum selesai saya menjabarkan panjang lebar, Mbak Ndar sudah meninggalkan saya. Saya tahu bahwa dia sedang marah. Saya salah karena telah mendustainya. Saya terpaksa berjanji tidak akan keluar dari kost lantaran pada saat saya menjelaskan secara gamblang, Mbak Ndar merengek, memohon agar saya bertahan dan menemaninya. Dengan berat hati, saya pun terpaksa berdusta.
Saya pun menyusul langkah Mbak Ndar. Sikap Mbak Ndar dingin.
"Ngapain Nia masuk ke kamar saya?"
"Pamitan Mbak"
"Sana kalo mau pulang, ngapain lagi ngomong sama saya"
"Mbak marah sama saya ya?"
"Enggak. Ngapain, saya kan puasa. Nanti batal puasanya."
"Yaudah deh Mbak, kalo Mbak marah, saya minta maaf. Mbak, makasih yah udah mau nemenin Nia selama ini. Nia mau pulang." saya segera menarik dan mencium tangannya.
Melihat aksi tarik tangan tersebut, Mbak Ndar pun memeluk saya dengan erat. Pelukan perpisahan.
"Nia, Mbak Ndar punya salah apa sih sama Nia? Kan Mbak kemarin udah bilang kalo Nia kesepian, nanti Mbak temenin di kosan. Nia jangan nangisin si Bulu (Christian) terus. Nia harus tetap semangat. Nia kan anak baik, pasti si Bulu nyesel udah sia-siain Nia. Nia sering-sering main kesini ya, Mbak kangen. Kan Mbak sayang Nia. Nia udah Mbak anggap anak sendiri", jelasnya dengan isak tangis.
"Iyah Mbak, nanti Lebaran Nia main kesini deh. Mbak jangan nangis dong. Kan saya bukannya meninggal, cuma pindah kok. Mbak doain Nia yah biar dapet suami yang baik, yang nggak sia-siain Nia lagi", ujarku dengan sesenggukan.
"Janji ya lebaran kesini. Mbak tunggu. Yaudah Nia pergi. Baik-baik yah", pintanya seraya mengelus rambut saya.
"Iyah Mbak Ndar sayang" jawabku.
Untuk menghemat waktu, saya pun melanjutkan berkemas. Setelah semua barang diangkut ke mobil, saya pun meminta agar Ebby meninggalkan saya beberapa menit di dalam kost. Saya ingin sendiri dan beruntungnya Ebby memahami.
Saya melemparkan pandangan ke seluruh sudut ruangan kost. Poster. Foto-foto tumblr yang sengaja saya cetak dengan warna hitam-putih. Semua masih menempel dengan erat. Terus terang, saya sedih.
Dalam kesedihan yang melena, saya merindukan satu nama, Christian. Perasaan saya semakin campur aduk. Rindu dan sedih. Air mata saya menetes. Napas saya tersendat. Sesak.
Bahkan disaat saya harus meninggalkan kost, Christian tidak hadir menemani saya. Dia tidak tahu bahwa saya telah pergi. Atau mungkin, dia memang tidak mau tahu dan tidak perlu tahu.
Saya lelah menangis. Sendirian di dalam kamar hanya akan membuat kejiwaan saya terguncang. Saya pun bergegas mengunci kamar untuk yang terakhirnya. Tidak hanya berkemas dalam kamar, namun berkemas dalam hati.
Dan untuk terakhirnya pula, saya berjanji untuk tidak menangisi Christian. Sambil menutup pintu kost untuk yang terakhir kali, saya berucap :
Hati saya gaduh. Raga saya menyetir, sementara sukma saya melayang. Bertanya-tanya. Ada satu pertimbangan yang masih mengganjal. Bagaimana jika suatu saat saya harus bertemu Christian? Dahulu Christian pernah mengutarakan alasannya jarang mengunjungi saya di rumah lantaran jarak. Pikiran saya pecah. Tiba-tiba lagu Daylight - Maroon 5 terdengar dari radio kesayangan saya, Prambors.
Oh Gosh ! Come on, move on !
*****
Tanpa berpikir lebih lama, saya segera mengemasi barang-barang. Untung saja saya membawa Mama, Ebby dan Monic. Ternyata lumayan banyak juga barang yang harus diaangkut.
Lantaran iba melihat Mama yang tampak lelah, saya pun menyarankan agar Mama segera kembali ke mobil untuk beristirahat dan menunggu kami berkemas-kemas hingga selesai.
Ditengah asik memasukkan barang-barang sesuai kategori, tanpa diduga Mbak Ndar masuk ke dalam kamar saya.
"Nia ngapain?", tanyanya
"Iyah Mbak, har ini aku pulang ke rumah", jawab saya
"Kok Nia pulang sih? Kan Nia udah janji sama Mbak kalo Nia nggak jadi pulang. Kalo Nia kesepian, nanti mbak temenin", tanya Mbak Ndar kesal sambil mencubit pinggang saya.
"Hemp, aku nggak...."
Belum selesai saya menjabarkan panjang lebar, Mbak Ndar sudah meninggalkan saya. Saya tahu bahwa dia sedang marah. Saya salah karena telah mendustainya. Saya terpaksa berjanji tidak akan keluar dari kost lantaran pada saat saya menjelaskan secara gamblang, Mbak Ndar merengek, memohon agar saya bertahan dan menemaninya. Dengan berat hati, saya pun terpaksa berdusta.
Saya pun menyusul langkah Mbak Ndar. Sikap Mbak Ndar dingin.
"Ngapain Nia masuk ke kamar saya?"
"Pamitan Mbak"
"Sana kalo mau pulang, ngapain lagi ngomong sama saya"
"Mbak marah sama saya ya?"
"Enggak. Ngapain, saya kan puasa. Nanti batal puasanya."
"Yaudah deh Mbak, kalo Mbak marah, saya minta maaf. Mbak, makasih yah udah mau nemenin Nia selama ini. Nia mau pulang." saya segera menarik dan mencium tangannya.
Melihat aksi tarik tangan tersebut, Mbak Ndar pun memeluk saya dengan erat. Pelukan perpisahan.
"Nia, Mbak Ndar punya salah apa sih sama Nia? Kan Mbak kemarin udah bilang kalo Nia kesepian, nanti Mbak temenin di kosan. Nia jangan nangisin si Bulu (Christian) terus. Nia harus tetap semangat. Nia kan anak baik, pasti si Bulu nyesel udah sia-siain Nia. Nia sering-sering main kesini ya, Mbak kangen. Kan Mbak sayang Nia. Nia udah Mbak anggap anak sendiri", jelasnya dengan isak tangis.
"Iyah Mbak, nanti Lebaran Nia main kesini deh. Mbak jangan nangis dong. Kan saya bukannya meninggal, cuma pindah kok. Mbak doain Nia yah biar dapet suami yang baik, yang nggak sia-siain Nia lagi", ujarku dengan sesenggukan.
"Janji ya lebaran kesini. Mbak tunggu. Yaudah Nia pergi. Baik-baik yah", pintanya seraya mengelus rambut saya.
"Iyah Mbak Ndar sayang" jawabku.
Untuk menghemat waktu, saya pun melanjutkan berkemas. Setelah semua barang diangkut ke mobil, saya pun meminta agar Ebby meninggalkan saya beberapa menit di dalam kost. Saya ingin sendiri dan beruntungnya Ebby memahami.
Saya melemparkan pandangan ke seluruh sudut ruangan kost. Poster. Foto-foto tumblr yang sengaja saya cetak dengan warna hitam-putih. Semua masih menempel dengan erat. Terus terang, saya sedih.
Dalam kesedihan yang melena, saya merindukan satu nama, Christian. Perasaan saya semakin campur aduk. Rindu dan sedih. Air mata saya menetes. Napas saya tersendat. Sesak.
Bahkan disaat saya harus meninggalkan kost, Christian tidak hadir menemani saya. Dia tidak tahu bahwa saya telah pergi. Atau mungkin, dia memang tidak mau tahu dan tidak perlu tahu.
Saya lelah menangis. Sendirian di dalam kamar hanya akan membuat kejiwaan saya terguncang. Saya pun bergegas mengunci kamar untuk yang terakhirnya. Tidak hanya berkemas dalam kamar, namun berkemas dalam hati.
Dan untuk terakhirnya pula, saya berjanji untuk tidak menangisi Christian. Sambil menutup pintu kost untuk yang terakhir kali, saya berucap :
"Goodbye Christian, I'm leaving because you never asked me to stay. Thank's for all. Yes, for 'all'.."
Comments
Post a Comment