Skip to main content

I don't wanna lose you, but..

“Jika saya bercerita sekarang. Maka itu hanya akan membuat sebagian orang memaklumi saya dan sebagian lagi akan tetap menyalahkan saya. Tetapi itu juga akan membuat mereka memaklumi, dunia yang seharusnya tidak dimaklumi. Dan tidak ada yang dapat menjamin, apakah semua dapat memetik hal yang baik dari kemakluman itu atau hanya akan mengikuti keburukannya. Maka saya lebih baik diam" - Ariel (NOAH)


Sampai pada akhirnya, semua akan kembali. Kepalsuan akan mati. Harapan pun tergilas batas dan terlewati. Seperti halnya yang terjadi saat ini. Saya dan dirinya yang semula tak saling mengenal nama, kata dan rasa pun akan kembali menjadi asing. Karena skenarionya yang membiarkan tak pernah ada kata 'kita' sampai sang waktu pun enggan menemani, mengakhiri. Detik ini.

Tanpa terasa, saya disadarkan bahwa sang waktu telah mengantarkan kami pada usia hampir satu tahun. Firasat saya mengatakan bahwa dia pasti sudah tidak memperdulikan hal itu lagi. Ah sudahlah, biarkan saya mengingatnya sendiri. Toh saya sudah terbiasa ditelantarkan bergelinang mimpi, berfantasi sampai akhirnya frustasi.

Masih terngiang dalam benak saya, awal kisah kami. Kala itu hari Jumat. Pertemuan kami diawali penantian alot di Stasiun Palmerah. Semula kami berjanji akan bertemu pukul Lima di salah satu kedai kopi, sekitar stasiun. Sore itu, matahari mewakili senyum saya. Warnanya senada dengan hati, memerah dan merona. Padahal kami tidak saling mengenal. Hanya bermodalkan suara yang terdengar dari telepon genggam sebagai navigator.

Detik demi detik berlalu, namun sosoknya tak kunjung muncul di stasiun. Keraguan pun tersibak menyusuri segala prasangka. Mata saya yang siaga sepanjang penantian pun waswas. Saya melemparkan seluruh tatapan ke setiap sudut. Waspada bahwa ternyata sedari tadi dia sudah datang, namun sengaja membiarkan saya berjaga. Maklumlah, sosoknya memang sedikit iseng, penuh kejutan.

"Krik-krik"
Ponsel saya berdering, menandakan ada pesan singkat yang datang. Ini pasti dari dia, saya bergusar dalam hati. Setelah saya buka, ternyata benar dugaan saya, pesan dari dia. Isi pesannya membuat saya terperanga. Dia meminta saya untuk menunggu lebih lama karena dia tengah berada di perjalanan.

"Oh gosh ! Who do you think you are??"
Gumam saya. Saya sangat benci kata menunggu. Itu sangat amat membosankan. Terbesit pikiran untuk berhenti menunggunya dan segera membeli tiket kereta tujuan Rawa Buntu, stasiun dekat rumah saya. Dengan perasaan kesal, saya bergegas menuju loket pembelian tiket. Namun entah mengapa, langkah saya terhenti di tengah perjalanan. Beberapa kali saya melemparkan pandangan antara telepon genggam dan daftar harga tiket.

"Please Ni, kali ini coba deh untuk lebih sabar. Lo inget kan, kenapa lo bisa putus sama si H? Karena lo nggak pernah sabar, selalu marah-marah kalo dia telat ngejemput lo. Kalo lo nggak  bisa merubah sifat lo, sampai kapanpun lo nggak akan bisa mendapatkan orang yang lebih baik juga"

Okay. Saya lekas berbalik arah, saya membatalkan niat untuk pulang. Perlahan saya menyeret langkah ke tempat semula, tempat kesepakatan kami.

Lima menit, Sepuluh menit, hingga Lima Belas menit berlalu. Saya membiarkan kereta (yang tadinya saya tumpangi) saya berlalu. Bodoh.

Dengan rasa kecewa dan kesal, saya melayangkan pandangan ke setiap sudut langit. Matahari berubah. Tidak lagi memerah dan merona. Tampak diperbatasan cakrawala, matahari mulai jenuh dan bercerita. Rembulan pun diam-diam mulai menjadi tamu. Senja.

Merah. Marun. Cokelat. Hingga perlahan menghantarkan gelap. Bumi pun gelap. Adzan berkumandang. Dan masih dengan tempat yang sama, saya masih setia menanti kedatangannya yang dipenuhi tanda tanya.

Di tengah lamunan panjang saya, sebuah pesan singkat pun memecahkan suasana.
"Lo dimana? Gue udah di Stasiun Palmerah nih"
Tanpa basa-basi, saya segera menekan tombol dial dan meneleponnya.
"Gue udah daritadi kali disini, lo make baju apa? Gue make baju item, celana jeans, rambut gue pendek"

Ditengah mencari siapa lawan bicara ditelepon, mata saya pun tertuju pada seorang pria berkemeja batik warna biru dengan balutan jaket berwarna hitam.

"Hallo" jawab saya dengan kikuk lantaran ini adalah kali pertama saya melakukan pertemuan dengan pria yang belum pernah saya kenal.
"Hai, Gue Christian" timpalnya sembari mengangkat tangan seraya mengajak saya tos.
"Gue Nia" balas saya dengan mengulurkan tangan kanan, mengajaknya bersalaman.

Oh ini toh pria yang kerap memanggil saya dengan gelar kehormatan SPAM di Yahoo Messenger, tanya saya dalam hati.

"Mana buku gue?" tangannya menengadah.
"Ini, tuh udah gue siapin" balas saya sembil memberikan buku Sejuta Hati Untuk Gus Dur, buku yang menjadi alasan pertemuan kami.
"Yaelah, masih ngambek aje neng!" celetuknya sembari menimpali kepala saya dengan botol  air mineralnya.
"Lagian lo nyuruh orang nunggu nggak kira-kira sih. Janjinya kan jam Lima, ini udah jam setengah Delapan. It means Gue udah nunggu lo lebih dari Dua setengah jam ya", balas saya diiringin dengan emosi lantaran menunggu.

Kala itu saya tak mampu menatap matanya. Ini benar-benar kali pertama saya. Pertama untuk melakukan pertemuan dengan orang yang sama sekali asing dalam hidup saya. Pertama untuk saya melakukan hal menyebalkan dalam hidup, yakni menunggu. Dan yang lebih tidak masuk akalnya lagi, pertama saya merasakan Jatuh Cinta pada Pandangan Pertama. Saya takut kalau nantinya tidak mampu mengendalikan diri, dan berujung dengan melakukan hal-hal bodoh lantaran salah tingkah.

"Hemp, enaknya ngobrol dimana nih?" tanyanya dengan tawa natural, tanpa ekspresi bersalah.

Huft. Untung deh nih cowo nanya. Ketegangan urat syaraf saya terasa sedikit kendur saat mendengar pertanyaan yang cukup mencairkan suasana.

"Terserah. Lo yang bikin gue lama nunggu yee. Jadi lo harus tanggung jawab. Gue laper, pengen makan." ancam saya masih dengan sikap masih menunduk malu.
"Iye tau, tapi lo harus dengerin penjelasan gue dulu dong. Tadi di HRD di kantor gw resign, jadi gue makan-makan dulu. Terus tadi ada temen gue nebeng, jadi gue harus nganterin dia ke Tomang. Entar gue ceritain lebih jelasnya. Gue traktir lo makan es krim Medan deh. Kita cari makan dulu ya. Disini enaknya makan dimana ya?" tanyanya sambil melemparkan pandangan ke setiap sudut kios stasiun.
"Ke lapo aja, mau nggak?" saya menantang. Padahal terus terang, saya belum pernah mengunjungi lapo.
"Boleh. Tapi kita ambil motor dulu ya. Gue markir disana." jawabnya.

Bagi saya, dia cukup pandai melihat situasi. Ujung matanya tampak menyipit dikala dia tertawa. 

Dengan tawa renyahnya, dia segera memboyong pembicaraan dan mencairkan suasana. Sampai pada akhirnya kami memulai bertukar cerita di Lapo Tondongta, Senayan.



Masih membekas hingga saat ini. Dan cerita diatas adalah tulisan pertama yang saya tuangkan mengenai pertemuan kami, yang pertama. Saya yang kala itu sedang memunguti kembali puing-puing hati yang berserakan karena cinta yang lalu, perlahan terselimuti oleh kehadirannya.

Saya tak pernah menyangka bahwa saya mampu jatuh cinta kembali, menatap dunia kembali, berharap kembali. Namun sayangnya, Dewi Fortuna tidak berpihak pada doa saya. Saya patah hati kembali, kecewa. Tenggelam dalam lautan fantasi yang saya ciptakan sendiri.

Ah, sial ! Saya jadi sedih kembali kalau mengingatnya.

"Now, I don't want to lose you, but I don't want to use you
just to have somebody by my side.
And I don't want to hate you,
I don't want to take you, but I don't want to be the one to cry"

"But there's a danger in loving somebody too much
and it's sad when you know it's your heart you can't trust.
There's a reason why people don't stay where they are"

Okay. Kali ini saya menyerah. Saya akui, saya kalah. Segenap hati yang tercurah, mungkin hanya akan dianggapnya sampah. Sampah, gelar kehormatan yang diberikannya pada saya sejak pertama kali menjadi teman. Teman.

Di penghujung rasa, saya mengirimkan sebuah pesan isi hati padanya. Sengaja saya sampaikan melalui whatsapp, lantaran saya tak kuasa jika harus menemuinya. Saya lelah, sekian lama terjerembab dalam tanda tanya. Suaranya yang berat, menemani setiap hela nafas yang berhembus. Saya tak menyesali semua yang terjadi, meski semua ini nantinya hanya akan menjadi kenangan.
Saya lelah. Keberadaannya yang semu dalam hidup saya hanya akan membuat saya nelangsa. Terpenjara dalam tanda tanya. Sampai kemana kisah ini nantinya.


"Hai Ombak,
Adilkah semua ini? Ketika aku ingin menjadi utuh dalam setiap kisah harimu. Bukan separuh. Bukan. Aku mau menjadi utuh."

Comments

Popular posts from this blog

SI KONTOL PANJANG !!!

Wetseh ! Jangan mikir yang aneh-aneh dulu ya. Sebenarnya saya juga agak ragu untuk melekatkan judul tersebut dalam blog saya. Namun berhubung agak menggelitik, yowes lanjut saja hehehe Saya ingin sedikit berbagi nih. Hari ini saya 'terjebak' meeting mendadak dengan boss saya. Semula, tim saya terdiri dari empat orang, namun karena mereka ada liputan di luar kantor,  berbeda dengan saya. Karena deadline, saya memilih untuk menetap di kantor. Dan terpaksalah saya yang mendapatkan jackpot  untuk meeting. Meeting berdua. Krik-krik. Pada sesi awal meeting, suasana masih berjalan serius. Saya segera mencatat seluruh informasi yang disampaikan oleh boss. Lama-kelamaan suasana melebur. Lebih kearah bercanda. Lantaran boss saya jera mengingatkan saya mengenai segala mata kuliah yang sudah tidak saya hapal lagi. Sekedar informasi, jika saya dihadapkan dalam situasi tidak mampu menjawab pertanyaan seseorang, saya memilih untuk tertawa sambil menutup wajah saya hahaha. Un...

PERASAAN HANCUR DI LEMBAH KARMEL PUNCAK

Ada yang tahu Lembah Karmel di Puncak - Jawa Barat ? Bagi sebagian besar umat Katolik, saya pastikan tempat tersebut tidaklah asing di telinga. Konon, daerah yang menjadi lokasi pertapaan dari Romo Yohanes tersebut, memiliki kekuatan dalam melahirkan manusia baru melalui Mujizat yang terjadi disana. Sebagai informasi, Lembah Karmel rutin mengadakan misa penyembuhan setiap 2x dalam sebulan, yakni setiap Minggu ke-2 dan ke-4. Berhubung waktunya pas, kami ber-4 pun memutuskan untuk melakukan perjalanan rohani tersebut pada Sabtu siang agar dapat menghadiri misa penyembuhan yang diselenggarakan di hari Minggunya; 12 November 2017. Sepanjang perjalanan ke Puncak, kami ber-3, Saya, Feby dan Peter pun berdialog mengenai keraguan akan Mujizat yang terjadi di Lembah Karmel. Terlebih saya, yang pernah beberapa kali mengikuti Ibadah Mujizat namun tidak pernah berhasil. Singkat cerita, di hari Minggu pagi saat perjalanan menuju Lembah Karmel. Ternyata lokasinya jauh dari Kota. Dan...

Singa Betina - Ujung Tombak Rumah Tangga

Istilah manusia terlahir untuk menjadi pemimpin, saya rasa sangat tepat untuk "modal" para motivator. Karena jika kita bicara tentang kenyataan, khususnya kehidupan sosial, kita tidak akan lepas dari sifat Dominan. Begitu juga di dalam kehidupan Rumah Tangga. (Mungkin) masyarakat pada umumnya, memposisikan Pria sebagai imam atau kepala Rumah Tangga. Namun, seiring berjalannya waktu, peran ktersebut kian terkikis. Saya belum dapat memastikan faktor utamanya. Namun yang pasti, hal ini lahir dari kombinasi berbagai aspek. Singa betina. Baru-baru ini saya disadarkan oleh seorang rekan di kantor yang tiba-tiba membahas profile picture di aplikasi Whatsapp saya. Kala itu saya memasang foto di bawah ini : Rekan saya merelefansikan dengan posisi saya saat ini. Dimana singa betina menjadi tonggak dalam kehidupan Rumah Tangga. Jika kita melihat video tentang bagaimana cara mereka mendapatkan mangsa. Singa betina dengan gigih memang badan untuk mendapatkan mang...